Melihat fenomena yang terjadi sekarang ini, banyak sekali
permasalahan-permasalahan di dunia perbankan yang sering kita dengar. Kemajuan
di bidang teknologi informasi dan komputer yang didukung dengan semakin
lengkapnya infrastruktur informasi secara global, telah mengubah pola dan cara
kegiatan masyarakat dalam berbagai aspek. Bagi dunia perbankan, hal tersebut
telah mengubah strategi dan pola kegiatannya. Tidak dapat dibayangkan apabila
perbankan yang mengelola jutaan nasabahnya harus melakukan kegiatannya tersebut
secara manual dan tanpa bantuan komputer. Apalagi kini masyarakat tidak lagi
harus menggunakan uang tunai dalam melakukan berbagai transaksi, namun cukup
dengan sebuah “kartu pintar/smart card” atau “online transaction”
dengan menggunakan sarana seperti e-commerce atau e-banking.
Dalam era globalisasi sekarang
ini, di sektor perbankan semakin meningkat para investasi yang melakukan
kegiatannya dengan menggunakan jasa perbankan. Akan tetapi kegiatan perbankan
di dalam melayani kegiatan para investasi tersebut, tidak terlepas dari saran
serta perangkat media elektronik berupa computer beserta perangkat internetnya,
yang dapat menyebabkan terjadinya tindak kejahatan yang mengganggu sistem
perbankan di Indonesia. Atas dasar tersebutlah maka dikenal CyberCrime yang
merupakan kejahatan dengan menggunakan sarana media elektronik internet
(kejahatan dunia alam maya) atau kejahatan dibidang komputer dengan secara
illegal ditujukan kepada sistem atau jaringan komputer, yang mencakup segala
bentuk baru kejahatan yang menggunakan bantuan sarana media elektronik internet
(segala bentuk kejahatan dunia alam maya).
Kegiatan yang potensial menjadi target cybercrime dalam
kegiatan perbankan antara lain adalah:
1) Layanan pembayaran menggunakan kartu kredit pada situs-situs toko online.
2) Layanan perbankan online (online banking).
Dalam kaitannya dengan cybercrime,
maka sudut pandangnya adalah kejahatan internet yang menjadikan pihak bank, merchant,
toko online atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi
karena maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi
informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank, pihak merchant maupun
pihak nasabah.
Contoh cybercrime dalam transaksi
perbankan yang menggunakan sarana Internet sebagai basis transaksi adalah
sistem layanan kartu kredit dan layanan perbankan online (online
banking). Dalam sistem layanan yang pertama, yang perlu diwaspadai adalah
tindak kejahatan yang dikenal dengan istilah carding. Prosesnya
adalah sebagai berikut, pelaku carding memperoleh data kartu
kredit korban secara tidak sah (illegal interception), dan kemudian
menggunakan kartu kredit tersebut untuk berbelanja di toko online (forgery).
Modus ini dapat terjadi akibat lemahnya sistem autentifikasi yang digunakan
dalam memastikan identitas pemesan barang di toko online.
Dalam kegiatan sistem layanan
yang kedua yaitu perbankan online (online banking).
Modus yang pernah muncul di Indonesia dikenal dengan istilah typosite yang
memanfaatkan kelengahan nasabah yang salah mengetikkan alamat bank online yang
ingin diaksesnya. Pelakunya sudah menyiapkan situs palsu yang mirip dengan
situs asli bank online (forgery). Jika ada nasabah yang
salah ketik dan masuk ke situs bank palsu tersebut, maka pelaku akan merekam user
ID dan password nasabah tersebut untuk digunakan
mengakses ke situs yang sebenarnya (illegal access) dengan maksud untuk
merugikan nasabah. Misalnya yang dituju adalah situs www.klikbca.com,
namun ternyata nasabah salah mengetik menjadi www.kilkbca.com.
Beberapa contoh lain dari illegal interception yaitu antara
lain:
•) Penggunaan kartu asli yang tidak diterima oleh pemegang kartu sesungguhnya (Non
received card)
•) Kartu asli hasil curian/temuan (lost/stolen card)
•) Kartu asli yang diubah datanya (altered card)
•) Kartu kredit palsu (totally counterfeit)
•) Menggunakan kartu kredit polos yang menggunakan data-data asli (white
plastic card)
•) Penggandaan sales draft oleh oknum pedagang kemudian
diserahkan kepada oknum merchant lainnya untuk diisi dengan
transaksi fiktif (record of charge pumping atau multiple
imprint), dll.
Salah satu permasalahan
perbankan yang hingga kini belum banyak diantisipasi adalah kegagalan transaksi
perbankan melalui teknologi informasi (technology fraud) yang dalam
risiko perbankan masuk kategori sebagai risiko operasional.
Seiring dengan kemajuan
teknologi informasi dalam dunia perbankan, proses operasional sebagian besar
bank saat ini dilakukan selama 24 jam tanpa mengenal batasan jarak, khususnya
bagi bank-bank yang telah dapat melakukan aktivitas operasionalnya melalui delivery
channels, misalnya ATM, internet banking, phone banking, dan
jenis transaksi media elektronik banking lainnya.
Seperti halnya pada Bank
Indonesia, sebagai otoritas moneter Bank Indonesia telah mendorong bank-bank
untuk memanfaatkan medium teknologi informasi seperti internet dalam
menjalankan transparansi guna mencapai good corporate governance di
industri perbankan nasional. Dalam peraturan Bank Indonesia, secara jelas
meminta bank-bank untuk memanfaatkan media internet, yaitu homepage atau website yang
dimiliki dan dikelolanya, dan mewajibkan untuk menampilkan laporan keuangannya
di media Internet sebagai upaya meningkatkan transparansi.
Penggunaan teknologi di bank seperti ATM , mobile
ATM, internet banking, website, dan transaksi via email, merupakan
bentuk pelayanan bank yang diharapkan dapat memudahkan nasabah. Bahkan nasabah
sekarang ini banyak melakukan transaksi perbankan melalui saluran elektronik (electronic
chanel) teknologi informasi yang memiliki serangkaian keunggulan. Selain
praktis, cara ini dapat menghemat biaya. Meskpun demikian, transaksi dengan
memanfaatkan teknologi informasi itu juga memunyai potensi kegagalan atau
dampak negatif yang justru menyebabkan kerugian bagi nasabah.
Munculnya permasalahan
kejahatan perbankan (cybercrime) juga harus didukung adanya aturan
yang memadai, baik yang dikeluarkan oleh badan regulasi yang terkait seperti
Bank Indonesia maupun oleh badan semacam self regulatory body.