Selasa, 22 Maret 2011

Demokrasi di Indonesia

Demokrasi Menurut Soekarno

Pada dasarnya,Soekarno tidak setuju kalau Indonesia disebut negara demokrasi dan Soekarno ingin mengubah Indonesia sebagai negara sosialis.Karena Menurutnya,Demokrasi itu berasal dari kata Demok dan Krasi yang berarti " Sing gede di mok-mok,Sing Kecil di krasi " atau "yang besar di pegang-pegang yang kecil diinjak-injak".Maksudnya, Demokrasi menurut Soekarno itu tidak mementingkan rakyat secara keseluruhan,tetapi hanya rakyat yang besar saja yang diperhatikan,oleh karena ituSoekarno tidak setuju.

Soekarno mempercayai persatuan, bukan kesatuan. Itu sebabnya ia memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Visi ini menunjukkan bahwa Soekarno adalah seorang demokrat, karena ia menerima perbedaan, dan kebhinekaan dipahami sebagai sesuatu yang natural-sunatullah dalam kehidupan. Namun di balik perbedaan itu, ia melihat arti penting persatuan. Secara filosofis, Soekarno meyakini bahwa ke-ika-an merupakan tali persaudaraan yang menjadi pengikat umat manusia di dunia untuk hidup rukun, damai, dan sejahtera - tanpa penghisapan, baik dalam arti manusia maupun bangsa.

Dasar demokrasi Soekarno adalah permufakatan atau permusyawaratan. Republik Indonesia didirikan bukan untuk satu golongan, akan tetapi "semua buat semua, satu buat semua". Visi dasar demokrasi Soekarno bukanlah demokrasi berdasarkan "suara terbanyak". Bagi Soekarno, demokrasi berdasarkan suara terbanyak hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan dan penindasan suara minoritas. Dalam demokrasi ala Soekarno, terminologi minoritas dan mayoritas (seperti dianut dalam sistem demokrasi liberal) sudah tidak berlaku lagi. Setiap suara, yang berasal dari kelompok mana pun, memiliki nilai dan arti yang sama dalam kehidupan Negara.

Salah satu pilar penting demokrasi adalah keadilan. Paradoksnya, peran negara dalam membangun sistem demokrasi yang berkeadilan di negeri ini sangat minim. Negara, terutama di era Orde Baru, mendesain spirit demokrasi bukan atas dasar keadilan, tapi atas apa yang diistilahkan Soekarno sebagai "demokrasi tanpa keadilan sosial". Bagi Soekarno, indikator kesejahteraan suatu bangsa tidak bisa diukur dari segi fisik saja (seperti ketercukupan sandang, pangan, pendidikan, atau kesehatan), akan tetapi juga dari sejauh mana jiwa dan kesadaran bangsa itu ikut sejahtera.

Masyarakat demokratis yang diimpikan Soekarno adalah masyarakat yang sejahtera bukan kerena ia kaya materi saja, akan tetapi juga kaya budi pekerti (moral) dan nilai-nilai spiritual. Kedua kekayaan mental itu harus diperoleh rakyat melalui dinamika kehidupan berbangsa yang sehat, bukan dipaksakan oleh negara.

Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDI-P sebagai pemenang Pemilu.

Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia

Faktual, kini dinamika kekuatan ekonomi-politik global yang didominasi oleh kekuatan pasar bebas cenderung menjadikan batas-batas teritorial suatu negara kian tak jelas (borderless). Kapitalisme pun menjelma menjadi sebuah mighty power yang berwujud dalam institusi multi-national corporations (MNC) yang kekuasaannya melebihi kedaulatan negara-bangsa. Bahkan, kekayaan sebuah megakorporasi ditengarai melampaui pendapatan kotor domestik (GDP) negara-negara berkembang yang ada.

Kasus Freeport dan Newmont merupakan contoh aktual dari kekuatan korporasi global dalam mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Contoh lain, pemberian hak operatorship blok Cepu kepada ExxonMobil, menunjukkan dengan jelas sikap inferiority complex para pemimpin bangsa yang rela didikte guna melayani kepentingan agen-agen pembangunan internasional dan korporasi global karena alasan utang atau bantuan pembangunan.

Pasca reformasi, arah politik nasional sepertinya berjalan kembali ke pendulum awal, bergerak dari corak pemerintahan demokratis yang berorientasi populis ke pemerintahan korporatik yang mengabdi kepada kepentingan modal. Sistem politik korporatik adalah refleksi corak pemerintahan plutokrasi (atau aristokrasi) di mana semua kebijakan publik diputuskan demi kepentingan kekuatan kelompok ekonomi kaya dengan mengabaikan aspek keadilan publik.

Kekuatan pasar bebas dan berbagai lembaga multinasional, semisal IMF, World Bank, ADB, atau WTO cenderung memarjinalisasi peran pemerintahan untuk menjalankan fungsi regulasi guna menghindari terjadinya monopoli, monopsoni atau oligopoli ekonomi oleh kekuatan korporasi global dan rongrongan para pemburu rente. Akibat dari plutokrasi megakorporasi, rakyat di republik tercinta telah terlempar dari berbagai aspek kehidupan di negerinya sendiri.

Sebagai negeri Pancasila, Indonesia sepatutnya mengarahkan tatanan politik demokratis dan tatanan perekonomian popu-lis untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi). Kebijakan politik dan ekonomi tidak boleh didikte apalagi diserahkan pada mekanisme pasar.
Mental inlander warisan kolonial yang counter productive dalam membangun kepercayaan diri para pemimpin bangsa menjadi agenda utama yang harus segera diatasi. Berikutnya adalah mengikis mental ambtenar yang koruptif, kolutif, dan nepotis.

Semangat Soekarno adalah refleksi jiwa Nusantara. Semangat Soekarno adalah pohon kesadaran yang ditanam ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, oleh para wali, para empu, para resi, dan para begawan bijak yang pernah lahir mengisi ruang-ruang kehidupan di negeri ini. Jiwa Soekarno adalah resultan dari pemekaran kepribadian manusia Indonesia yang modern, yang merdeka lahir dan batin. Menyedihkan, kondisi kekinian kita menunjukkan bahwa pragmatisme, konsumerisme, borjuisme lebih penting dari kebersihan moral, ketulusan sikap, dan kebajikan perilaku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar