Kamis, 27 Oktober 2011

Tari Pendet, Malaysia, dan Bung Karno

Tari pendet yang begitu edi-peni, melantun di pura-pura Hindu Pulau Dewata, meliuk indah menyambut tetamu, dan melenggang energik menggugah gairah. Lama sekali ia terpendam menjadi khasanah budaya milik leluhur. Entah sejak berapa abad yang lalu. Ia telah menjadi tradisi, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Tari pendet, bukan saja tari yang disucikan di Bali. Tari pendet juga menjadi inspirasi utama para koreografer Pulau Seribu Pura dalam mencipta tari-tarian baru.
Singkat tutur, pendek ucap, tari pendet begitu lekat pada tradisi masyarakat Hindu Bali, melekat menjadi warisan budaya negeri adiluhung. Barangkali sama berartinya dengan tari bedoyo di lingkungan keraton Solo maupun Yogya, atau barangkali tak ubahnya seni tari lain yang mengalir dalam denyut nadi suku-suku bangsa di Tanah Air dari Sabang hingga Merauke sebagai sesuatu yang sakral. Sebagai sesuatu yang metaksu.
Akan halnya Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, ternyata pernah pula bersinggungan dengan tari pendet. Kejadiannya tahun 1962, menjelang Indonesia menjadi tuan rumah pesta olah raga Asia, Asian Games IV. Guna memeriahkan ajang olahraga akbar tadi, I Wayan Beratha menancapkan tonggak sejarah dalam penciptaan tari pendet masal. Wayan Beratha berencana menampilkan tari pendet dengan 800 orang penari.
Bung Karno yang intens meneliti setiap persiapan Asian Games, mulai dari persiapan kelengkapan sarana stadion, hotel, hingga materi penyambutan, sangat senang dengan gagasan Beratha. Presiden Sukarno pula yang kemudian mendorong proses penciptaan tari pendet secara masal ini. Bahkan tidak berlebihan jika sejak momentum itu pula, tari pendet begitu dikenal di Indonesia, bahkan dunia, serta identik dengan tari selamat datang yang memukau karena keindahan gerak serta kecantikan para penarinya.
Bahkan jauh hari sebelum momentum 1962, Bung Karno sangat menyenangi tari Bali. Bukan saja karena ia berdarah Bali, tetapi Sukarno begitu membanggakan tari Bali kepada tamu-tamu manca negara. Tak heran jika tari Bali nyaris tak pernah absen ditampilkan dalam acara-acara kenegaraan, di samping tentu saja tari dan budaya Nusantara lain.


Kini, tari pendet diklaim Malaysia. Sebelumnya, negeri jiran itu juga mengklaim lagu “Rasa Sayang” serta kesenian Reog sebagai khasanah budaya mereka. Bahkan batik. Bahkan seni angklung. Entah yang mana lagi. Dalih tinggal dalih. Akan tetapi langkah klaim seperti itu, sejatinya sangat mengusik rasa nasionalisme kita sebagai bangsa. Lebih dari itu, klaim mereka tak lebih dari sebuah upaya (sengaja atau tidak disengaja) mengusik ketenangan hidup bertetangga.

Pantas saja kalau kita bertanya, mengapa mereka tidak bergabung saja dengan Indonesia? Sehingga tidak hanya lagu “rasa sayang”, reog, angklung, batik, dan pendet yang bisa mereka klaim. Masih ada jutaan ragam budaya yang begitu membanggakan di bumi khatulistiwa kita. Kecuali kalau yang mereka inginkan memang sebuah upaya melanggengkan perseteruan antarnegara serumpun. Sayangnya, presiden kita bukan Bung Karno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar